Rabu, 24 Juni 2009



Ada 5 falsafah jawa yang berguna untuk kita menghadapi perjalanan
kehidupan kita.
1. Kukilo (Burung)
2. Wanito (Wanita)
3. Curigo (Waspada)
4. Turonggo (Kuda)
5. Wismo (Rumah)

1. Kukilo (Burung)
Kebanyakan orang jawa selalu memelihara binantang peliharaan, dan
kebanyakan pula binatang peliharaan yang umum di rawat adalah burung perkutut. Karena suaranya yang bagus merdu dan menentramkan suasana.
Didalam kehidupan ini kita harus bisa mengikuti burung perkutut,
yaitu dengan selalu bersuara yang bagus untuk didengar oleh orang
lain, tidak selalu mengeluarkan suara yang bisa menyakiti hati orang lain.

2. Wanito (Wanita)
Wanita secara universal melambangkan kelembutan, cinta kasih,
perasaan sayang. Kita hidup didunia pastilah berada ditengah-tengah
manusia dan makhluk lainnya. Kita harus selalu memberikan rasa
kelembutan kita, cinta kasih kita dan rasa sayang kita kepada semua makhluk ciptaan sang Maha Kuasa.

3. Curigo (Waspada)
Didunia kita pasti tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita
beberapa detik, menit atau jam kedepan. Dengan sikap waspada ini maka kita diharapkan bisa selalu waspada akan gerak dan sega tingkah laku kita agar kejadian yang akan datang tidak menjadikan penderitaan pada diri kita sendiri. Curigo juga bisa diartikan dengan Eling terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena Beliau lah yang menciptakan masa lalu, masa sekarang dan masa depan kita.

4. Turonggo (Kuda)
Untuk dapat mengendalikan kuda disaat kita menungganginya, maka tali kendali yang harus kita pegang erat. Dalam kehidupan pengendalian diri akan segala nafsu dan ego harus kita kendalikan. Bukan dengan mengumbar nafsu, ego dan angkara murka.

5. Wismo (Rumah)
Rumah, setiap kali kita pergi pasti akan kembali kerumah. Dari sini diartikan kita hidup didunia ini hanya keluar sebentar dari rumah
kita yang sebenarnya, dan suatu saat pasti akan kembali ke rumah
abadi kita yaitu rumah Tuhan. Dan kita selagi didunia harus tahu apa yang akan kita bawa sebagai oleh-oleh untuk-NYA agar kita lebih disayang oleh Beliau.

sebuah teori sejarah

Sebelum dihuni manusia, bumi Jawa telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu, turun ke arcapada lalu kawin dengan Pratiwi, dewinya bumi….

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.
Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata. 
Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.
Al kisah, dalam kunjungan resminya sebagai utusan raja, Empu Barang atau nama bangsawannya Haryo Lembusuro, seorang pandhito terkemuka tanah Jawa, berkunjung ke Jambu Dwipa (India).
Sesampainya menginjakkan kaki di negeri Hindustan ini, oleh para Brahmana setempat, Empu Barang diminta untuk bersama-sama menyembah patung perwujudan Haricandana (Wisnu). Namun, dengan kehalusan sikap manusia Jawa, Empu Barang menyatakan bahwa sebagai pandhito Jawa, dia tidak bisa menyembah patung, tetapi para Brahmana India tetap mendesaknya, dengan alasan kalau Brahmana dinasti Haricandana menyembahnya karena Wisnu dipercaya sebagai Sang Pencipta Tribuwana.
Dengan setengah memaksa, Empu Barang diminta duduk, namun sewaktu kaki Empu Barang menyentuh tanah, tiba-tiba bumi bergoyang (tidak disebutkan berapa kekuatan goyangannya dalam skal ritcher). Yang jelas, saking hebatnya goyangan tersebut, patung tersebut hingga retak-retak.
Memang, menurut tata cara Jawa, penyembahan kepada Sang Penguasa Hidup itu bukan patung, tetapi lewat rasa sejati, sehingga hubungan kawula dengan Gusti menjadi serasi. Itulah Jumbuhing Kawula Dumateng Gusti.
Orang Jawa melakukan puja-puji penyembahan kepada Gustinya langsng dari batinya, maka itu dalam perkembangannya disebut aliran Kebatinan atau perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah Kejawen, karena bersumber dari Jawa.
Bagi orang Jawa tentang cerita waktu bumi Jawa belum dihuni manusia, telah dihuni oleh golongan dewa-dewi dan makhluk halus lainnya. Dan salah satu putra Sang Hyang Jagad Girinata, yaitu Bathara Wisnu turun ke arcapada kawin dengan Pratiwi, dewi bumi.
Dalam pemahaman kejawen, hal itu disikapi dengan terjemahan, kalau Wisnu itu artinya urip/hidup, pemelihara kehidupan. Jadi jelasnya awal mula adanya kehidupan manusia di bumi, atas izin Sang Penguasa Jagad. Dewa perlambang sukma, manusia perlambang raga. Begitulah hidup manusia, raganya bisa rusak, namun sukmanya tetap hidup langgeng.
Kemolekan bumi Jawa laksana perawan rupawan yang amat jelita, sehingga Kerajaan Rum (Ngerum) yang dipimpin Prabu Galbah, lewat laporan pendeta Ngali Samsujen, begitu terpesona karenanya. Maka diutuslah dutanya yang pertama yang bernama Hadipati Alip.
Hadipati Alip berangkat bersama 10.000 warga Ngerum menuju Nuswa Jawa. Mereka dalam waktu singkat meninggal terkena wabah penyakit. Tak tersisa seorang pun. Lalu dikirimlah ekspedisi kedua dibawah pemimpinan Hadipati Ehe. Malangnya, mereka juga mengalami nasib sama, tupes tapis tanpa tilas.
Masih diutus rombongan berikutnya, seperti Hadipati Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Semuanya mengalami nasib sama, tumpes kelor.
Melihat semua itu, Prabu Galbah terkejut dan mengalami shock hebat. Akibatnya, sakit jantungnya kambuh. Dia kemudian jatuh sakit, dan dalam waktu tak lama mangkat.
Pendeta Ngali Samsujen, merasa bersalah karena nasehatnya menimbulkan malapateka ini terjadi. Akhirnya beliau mati dalam rasa bersalah. Tinggal Mahapati Ngerum, karena rasa setianya, dia ingin melanjutkan missi luhur yang dicita-citakan rajanya. Dia akhirnya ingat pada sahabatnya yang sakti bersanama Jaka Sangkala alias Aji Saka, yang tinggal di Tanah Maldewa atau Sweta Dwipa.
Habisnya para migran dari Ngerum ke Tanah Jawa itu, menurut Jaka Sangkala adalah karena hati mereka yang kurang bersih. Mereka tidak meminta izin dahulu pada penjaga Nuswa Jawa. Padahal, karena sejak zaman dahulu, tanah ini sudah ada yang menghuni. Yang menghuni tanah Jawa adalah manusia yang bersifat suci, berwujud badan halus atau ajiman (aji artinya ratu, man atau wan artinya sakti).
Selain penghuni yang baik, juga dihuni penghuni brekasakan, anak buah Bathara Kala. Makanya tak ada yang berani tinggal di bumi Jawa, sebelum mendapat izin Wisnu atau manikmaya atau Semar.
Akhirnya, Mahapati Ngerum diantar Aji Saka menemui Wisnu dan isterinya Dewi Sri Kembang. Saat bertemu, dituturkan bahwa wadyabala warga Ngerum yang mati tidak bisa hidup lagi, dan sudah menjadi Peri Prahyangan, anak buah Batara Kala. Tapi ke-8 Hadipati yang gugur dalam tugas itu berhasil diselamatkan oleh Wisnu dan diserahi tugas menjaga 8 mata angina. Namun mereka tetap menghuni alam halus.
Atas izin Wisnu, Mahapati Negrum dan Aji Saka berangkat ke tanah Jawa untuk menghadap Semar di Gunung Tidar. Tidar dari kata Tida; hati di dada, maksudnya hidup. Supaya selamat, oleh Wisnu, Mahapati Ngerum dan Aji Saka diberi sifat kandel berupa rajah Kalacakra, agar terhindar dari wabah penyakit dan serangan anak buah Batara Kala.
Kisah di atas hanya merupakan gambaran, bahwa ada makna yang tersirat di dalamnya. Wisnu dan Aji Saka itu dwitunggal, bagaikan matahari dan sinarnya, madu dan manisnya, tak terpisahkan. Loro-loro ning atunggal.
Maka itu, keraton Wisnu dan Aji Saka itu di Medang Kamulan, yang maksudnya dimula-mula kehidupan. Kalau dicermati, intinya adalah kawruh ngelmu sejati tentang kehidupan manusia di dunia, sejak masih gaib hingga terlahir di dunia, supaya hidup baik, sehingga kembalinya nanti menjadi gaib lagi, perjalanannya sempurna.
Singkat cerita, perjalanan ke tanah Jawa dipimpin oleh Aji Saka dengan jumlah warga yang lebih besar, 80 ribu atau 8 laksa, disebar di berbagai pelosok pulau. Sejak itulah, kehidupan di tanah Jawa Dwipa yang disebut masyarakat Kabuyutan telah ada sejak 10.000 SM, tetapi mulai agak ramai sejak 3.000 SM.
Sesudah kedatangan pengaruh Hindu, muncul kerajaan pertama di Jawa yang lokasinya di Gunung Gede, Merak. Rajanya Prabu Dewowarman atau Dewo Eso, yang bergelar Sang Hyang Prabu Wismudewo. Raja ini memperkuat tahtanya dengan mengawini Puteri Begawan Jawa yang paling terkenal, yakni Begawan Lembu Suro atau Kesowosidi di Padepokan Garbo Pitu (penguasa 7 lapis alam gaib) yang terletak di Dieng atau Adi Hyang (jiwa yang sempurna), juga disebut Bumi Samboro (tanah yang menjulang tinggi). Puterinya bernama Padmowati atau Dewi Pertiwi.
Dari perkawinan campuran itu, lahirlah Raden Joko Pakukuhan, yang kelak di kemudian hari menggantikan tahta ayahnya di kerajaan Jawa Dwipa atau Keraton Purwosarito, dan bergelar Sang Prabu Sri Maha Panggung. Lalu keraton dipindah lokasinya ke Medang Kamulan.
Penggantinya adalah putranya Prabu Palindriyo. Dari perkawinannya dengan puteri Patih Purnawarman, Dewi Sinto, lahir Raden Radite yang setelah bertahta dan bergelar Prabu Watuguung. Dia memerintah selama 28 tahun. Pemerintahannya mempunyai pengaruh kuat di Jawa Barat. Adalah kakaknya, Prabu Purnawarman yang membuat Prasasti Tugu, sebelah timur Tanjung Priuk dalam pembuatan saluran Kali Gomati, Prasasti Batu Tulis di Ciampea, Bogor.
Untuk menguasai Jawa Timur, Prabu Watugunung mengawini puteri Begawan Kondang, yaitu Dewi Soma dan Dewi Tumpak. Dia juga mengawini Ratu Negeri Taruma yang bernama Dewi Sitowoko.
Dalam pemerintahannya terjadi perebutan tahta dengan Dewi Sri Yuwati, saudara lain ibu (Dewi Landep). Dewi Sri Yuwati dibantu adiknya lain ibu, Joko Sadono (putera Dewi Soma). Akhirnya Prabu Watugunung berhasil dikalahkan, dan Joko Sadono menggantikan tahtanya dengan gelar Prabu Wisnupati, permaisurinya Dewi Sri. Kakak Dewi Sri diangkat sebagai raja Taruma, bergelar Prabu Brahma Raja

Selasa, 23 Juni 2009

titipan Gusti Allah

Ada tiga hal yang patut dijaga oleh manusia agar seorang manusia itu dikatakan adil dan menjadi "Manungso sejati". Apa saja itu?

Tiga hal tersebut adalah:
1. Raga
2. Pikiran
3. Jiwa

Ketiga hal tersebut ada dalam setiap tubuh manusia. Raga dalam bahasa Jawa disebut "Wadag". Pikiran dalam bahasa Jawa disebut "nalar". Sedangkan Jiwa disebut orang Jawa dengan "suksma". Ketiga hal tersebut antara satu dengan lainnya memiliki makanan sendiri-sendiri.

Makanan untuk ketiga hal tersebut:
1. Raga (makanannya adalah nasi, roti dsb)
2. Pikiran (makanannya adalah membaca koran, melihat TV, mendengarkan radio dan tukar pikiran dengan orang lain agar tumbuh pemahaman)
3. Jiwa (makanan dari jiwa adalah "panembah", "Memuji GUSTI ALLAH", Sembahyang, Sholat dan lainnya, agar muncul rasa tentram dalam hidup ini).

Nah, rata-rata manusia dikatakan tidak bisa adil karena untuk menjaga makanan dari ketiga hal tersebut saja merasa kesulitan. Padahal, GUSTI ALLAH sudah menitipkan tiga hal tersebut pada setiap diri dan titipan itu harus dirawat dengan baik oleh manusia. Kenyataannya malah berkata lain. Manusia umumnya menelantarkan satu dari ketiga hal tersebut.

Setiap titipan GUSTI ALLAH pada manusia jika kita sebagai manusia menelantarkannya, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidup ini. Contohnya, jika kita lebih mementingkan raga saja dengan makan semua makanan yang ada tanpa diimbangi dengan kebutuhan Jiwa dan pikiran, maka yang muncul adalah penyakit akibat makanan itu.

Demikian juga ketika kita lebih mementingkan pikiran dimana kita selalu mencari pemahaman dengan membaca koran dan ilmu pengetahuan lainnya tanpa mempedulikan raga dan jiwa, maka kita juga akan sakit. Umumnya sakit maag, lever dan lainnya.

Oleh karena itu, ketiga hal tersebut harus dijaga keseimbangannya karena ketiganya merupakan titipan yang sangat berharga dari GUSTI ALLAH. Kalau ketiga hal tersebut sudah bisa dijaga dengan seadil-adilnya, maka kita bisa disebut manusia yang senantiasa menjaga amanah dari GUSTI ALLAH dan digelari sebagai "Manungso Sejati".

Belajar Pada GURU SEJATI

Mau tidak mau, makhluk hidup harus mempercayai pada sesuatu yang ghaib. Apabila tidak mempercayai hal yang ghaib, berarti kita sudah tidak percaya pada GUSTI ALLAH. Lho kok bisa? Jelas bisa. Alasannya, bukankah GUSTI ALLAH itu ghaib? Antara manusia dan GUSTI ALLAH terdapat ribuan hijab yang menutupi sehingga kita tidak bisa melihatNYA secara langsung.

Bahkan kita tidak bisa merabaNYA karena GUSTI ALLAH itu sifatnya tidak wujud.Kalau wujud, berarti bukanlah GUSTI ALLAH. 

Itulah yang harus kita jadikan sebagai pegangan agar kita tidak terperdaya dalam memahami dan menyembah pada yang bukan GUSTI ALLAH.

Nah, seperti dijelaskan GUSTI ALLAH lewat Al'Quran, ALLAH sendiri sangat dekat. GUSTI ALLAH dalam Al'Quran menjelaskan yang kurang lebih artinya, "Kalau engkau bertanya tentang AKU, AKU ini sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari urat lehermu sendiri." Dari situlah kita bisa melihat bahwa GUSTI ALLAH itu dekat.

Pada tubuh seluruh manusia terdapat GUSTI ALLAH. Dimanakah posisiNYA? GUSTI ALLAH itu berada pada hati nurani yang paling dalam. Hati manusia dibagi menjadi 2 bagian yakni hati besar dan hati kecil. Perlu diketahui bahwa hati besar selalu berkata bohong, menghasut, iri, dengki dan lainnya. Sedangkan hati kecil selalu mengatakan hal-hal yang bersifat kebaikan, sabar, lembut dll.

Pada hati kecil itulah GUSTI ALLAH bersemayam. Namun kita tidak bisa memburu keberadaan GUSTI ALLAH dikarenakan adanya ribuan hijab yang menghalangi itu sendiri. GUSTI ALLAH akan menyatu dan menguasai tubuh kita, jika GUSTI ALLAH sendiri yang berkehendak.

Dalam pikiran manusia juga dibagi menjadi 2 yaitu pikiran materiil dan spirituil. Kalau pikiran materiil yang lebih menonjol, tentu manusia itu akan memburu hal-hal yang bersifat materiil seperti kekayaan, kemakmuran, pangkat, jabatan, lawan jenis dan lainnya. Namun kalau pikiran spirituil yang menonjol, maka seorang manusia boleh dikatakan hampir mirip dengan malaikat. Oleh karena itu, antara sisi materiil dan spirituil haruslah seimbang. Di satu sisi kita wajib bekerja untuk mencari materi, di sisi lain kita juga wajib untuk manembah dan memuji kebesaran GUSTI.

Untuk mendalami sisi spirituil, GUSTI ALLAH menciptakan piranti yang disebut dengan GURU SEJATI. Sebetulnya antara GUSTI ALLAH dan GURU SEJATI itu pada prinsipnya sama. Jika seseorang mulai memiliki keinginan dan kerinduan terhadap TUHAN, maka GURU SEJATI itulah yang akan memandu untuk lebih bisa mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.

Bahkan banyak orang yang berpendapat bahwa GURU SEJATI yang ada pada manusia itu adalah NUR MUHAMMAD. Pendapat itupun ada benarnya. Pasalnya, manusia yang hidup di dunia ini selalu memiliki NUR MUHAMMAD. NUR MUHAMMAD itulah yang menjadi penghubung antara seorang manusia dengan GUSTI ALLAH.

Nah, biasanya GURU SEJATI itu senantiasa mengajarkan lewat kata hati kita. Ia senantiasa menggerakkan rasa dan hati kita untuk selalu mendekat kepada GUSTI. Bahkan tidak jarang GURU SEJATI juga mengajarkan apa yang harus dilakukan dalam sebuah ritual. GURU SEJATI bersemayam dalam rasa.

Contohnya, pernahkah Anda merasa kesepian walaupun berada di tengah keramaian? Nah, kalau Anda sedang dalam posisi seperti itu, cobalah untuk mendengarkan hati kecil Anda dan mengikuti rasa yang muncul. Sebab kata hati kecil dan rasa itu adalah GURU SEJATI Anda sendiri. Setiap manusia memiliki GURU SEJATI. Tergantung manusia itu sendiri apakah GURU SEJATI tersebut lebih banyak didengarkan ataupun lebih memilih untuk mendengarkan hati besar yang dipenuhi oleh setan.

Untuk itu, kenalilah GURU SEJATI Anda. Dengan mengenali GURU SEJATI Anda, maka Anda akan bisa selalu 'bermesraan' dengan GUSTI ALLAH. Paling tidak, rasa yang akan muncul adalah kedamaian dan ketentraman yang ada dalam diri Anda, meskipun Anda tidak memiliki uang. Penasaran? Coba Anda praktekkan sendiri.

Sampurnaning Urip, Sampurnaning Pati

Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal).

Bahasa Jawa di atas memiliki arti sebagai berikut: Sesungguhnya tidak ada apa-apa, sejak masih awang-uwung (suwung, alam hampa) belum ada suatu apapun, yang ada pertama kali adalah Ingsun, tidak ada Tuhan kecuali Aku (Ingsun) sejatinya hidup yang lebih suci, mewakili pancaran dzat, sifat, asma dan afngal-Ku (Ingsun).

Kalau menilik dari kata-kata tersebut, maka kita akan bisa mawas diri tentang keberadaan kita sebagai manusia. Kita ini siapa, darimana dan nantinya bakal ke mana. Ketika terlahir ke alam dunia, manusia masih berbentuk bayi dan tidak membawa satu lembar kain pun. Saat menjadi bayi itu, kita yang semula tidak perlu disuapi ketika masih berada di dalam perut ibu, sudah mulai diperkenalkan dengan kejamnya dunia. Dimana kita harus menangis meronta-ronta untuk bisa mendapatkan makanan dengan cara disuapi ibu. 

Namun ketika kita menginjak pada masa kanak-kanak, tidak ada hal-hal terindah yang menghiasi kehidupan ini selain bermain dan bermain bersama teman-teman sebaya. Bahkan ketika melihat sungai, kali ataupun empang yang ada di sekitar rumah kita, maka kita yang masih kanak-kanak ketika itu melihat keindahan yang luar biasa. Kita melihat anugerah GUSTI ALLAH yang Maha Besar lewat alam semesta yang diciptakan. Maka, jangan heran ketika kita melihat gunung, pantai dan lainnya, pandangan kanak-kanak kita akan mengagumi keindahan alam Sang Pencipta itu.

Waktu pun beranjak dan terus berlalu. Akhirnya masa kanak-kanak kita berganti dengan masa remaja. Di masa remaja inilah kita sudah mulai menerima unsur-unsur positif dan negatif dari lingkungan. Tragisnya, di masa ini kita masih belum bisa memilah-milah mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya ditelan mentah-mentah. Di masa inilah pembentukkan jiwa terjadi. Kalau yang dominan unsur negatif, maka seseorang di masa depannya akan diwarnai dengan perilaku yang negatif. Tetapi kalau unsur positif yang banyak masuk, maka kehidupan orang tersebut di masa depan akan menjadi lebih terang dan terarah. 

Ketika kita mulai menginjak masa dewasa dan sudah memutuskan untuk menikah, maka keindahan alam semesta ciptaan GUSTI ALLAH yang ketika masa kanak-kanak kita saksikan, akhirnya musnah. Yang ada adalah berganti dengan pandangan duit, duit dan duit. Kita disibukkan untuk mencari harta dunia. Semua yang kita lakukan semata-mata adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Harta dunia itulah yang mulai menghalang-halangi pandangan kita terhadap keberadaan GUSTI ALLAH. 

Buktinya, walaupun kita shalat, meditasi, tafakur ataupun semedi, kadangkala yang tampak di depan kita hanyalah persoalan-persoalan yang berkutat pada duit. Pertanyaan besar yang muncul, DULU KITA INI SIAPA, PUNYA APA DAN SEKARANG KITA PUNYA APA? 

Jawabannya mudah, dulu kita ini bayi, kanak-kanak, remaja tidak punya apa-apa. Tetapi ketika dewasa dan berumahtangga, kita "DITITIPI" oleh GUSTI ALLAH dengan anak, istri dan harta benda. Tragisnya, kita malah bangga dengan harta benda yang kita peroleh. "Kekayaan ini adalah hasil kerja kerasku selama ini," ujar kita meski dalam hati. 

Tidak, sekali-kali tidak. Harta benda, anak, istri dan apapun yang kita miliki di dunia ini bukanlah milik kita. Itu sekedar "TITIPAN" Sang Kuasa. Kalau Anda merasa memiliki semuanya, mampukah Anda menghalang-halangi bahaya kebakaran yang akan melumat habis harta benda Anda? Mampukah kita menghalang-halangi nyawa anak kita yang akan dipanggil oleh GUSTI ALLAH? Bahkan kita sendiri tidak mampu menolak ketika nyawa kita hendak dicabut dari jasmani ini oleh Tuhan.

SEMUA MILIK GUSTI ALLAH

Pada bait di atas disebutkan kata-kata dzat, sipat, asma, afngal. 

ZAT: Semua di dunia ini yang memiliki zat, itu milik GUSTI ALLAH. Coba Anda cari adakah di dunia ini yang sifatnya bukan zat?

SIFAT: Semua makhluk ataupun benda yang memiliki sifat-sifat adalah milik GUSTI ALLAH. 

ASMA: Asma adalah berarti nama. Semua benda yang ada di dunia ini yang memiliki nama, adalah milik GUSTI ALLAH. Coba Anda cari makhluk ataupun benda di dunia ini yang tidak memiliki nama. Selama memiliki nama, itu kepunyaan GUSTI ALLAH. 

AFNGAL: Rasa. Semua makhluk ataupun benda di dunia ini yang memiliki rasa, maka adalah milik GUSTI ALLAH.

Kembali ke pertanyaan dasar: Lalu kita ini punya apa? Jelas, tidak punya apa-apa. Ketika mati pun kita tidak akan membawa sepeser pun uang. Masihkah kita merasa sebagai makhluk yang adigang-adigung-adiguno? Jelas tidak. Kita harus pandai-pandai mepes hawa nafsu agar kita bisa kembali sebagai satria sejati. Satria sejati adalah manusia yang bisa menemukan sampurnaning urip lan sampurnaning pati (sempurnanya hidup, dan sempurnanya mati).

Mencari SANG MAHA GHAIB

- "GUSTI ALLAH, Panjenengan panggenanipun dhateng pundi? 
+ "AKU ono ning teleging ati"
- "GUSTI ALLAH. Kulo sampun nyusul Panjenengan dumugi dhateng teleging ati. Panjenengan 
kok mboten wonten. Panjenengan dhateng pundi? 
+ "Kowe ora bakal biso nggoleki AKU. AKU ono ning teleging urip. Kowe bisa ketemu kelawan 
AKU yen wis titi mongsone"

Terjemahan: 
- "GUSTI ALLAH, dimanakah ENGKAU? 
+ "AKU ada di dasar hati (hati sanubari)"
- "GUSTI ALLAH. Saya sudah menyusul ENGKAU di dasar hati. ENGKAU kok tidak ada. Dimanakah 
ENGKAU? 
+ "Kamu tidak bakal bisa mencari AKU. AKU ada di dasar hidup. Kamu bisa ketemu AKU jika
sudah saatnya"

Gambaran dialog di atas menggambarkan betapa sulit dan berlikunya untuk bisa bertemu dengan Sang Hyang Urip atau GUSTI ALLAH. Kita tidak akan bisa bertemu, apalagi bersatu dengan GUSTI ALLAH jika belum saatnya. Namun, dari dialog itu kita bisa tahu bahwa ALLAH itu dekat. Seperti yang dijelaskan GUSTI ALLAH sendiri dalam Al'Quran "AKU tidak jauh dari urat lehermu sendiri."

Namun orang Jawa memiliki falsafah tersendiri agar tidak putus asa untuk bisa bertemu Sang Khalik. Falsafah tersebut berbunyi,"Sopo sing temen bakal tinemu." Yang artinya, "Siapa yang benar-benar mencari, bakal menemukannya". Falsafah tersebut sangat besar artinya bagi para pendaki spiritual. Setidaknya, kita pasti bisa bertemu dengan GUSTI ALLAH di alam kematian saat kita hidup di dunia ini. 

Lho hidup di dunia ini kok disebut alam kematian? Karena orang hidup di dunia itu hakekatnya adalah mati, dan orang yang sudah mati itu hakekatnya hidup. Alasannya, kita hidup di dunia ini selalu diperalat oleh kulit, daging, perut, otak dan lain-lainnya. Oleh karena itu, saat kita hidup di dunia ini pasti membutuhkan makanan untuk kita makan. Sarana untuk bisa mendapatkan makanan adalah dengan bekerja mencari duit. 

Nah, kita makan itu sebetulnya hanyalah untuk menunda kematian. Lantaran diperalat oleh indera, kulit, daging, perut, otak dan lainnya, maka kita ini disebut mati. Tetapi ketika seseorang itu mati, badan yang bersifat jasad ini ditinggalkan. Yang hidup hanyalah ruh. Ruh tidak pernah butuh makan, tidur, apalagi butuh duit. Ruh itu hanya butuh bertemu dengan si Pemilik Ruh. 

Di bagian lain pada blog ini pernah dijelaskan perihal "belajarlah mati sebelum kematian itu datang". Artinya, ketika kita hidup di dunia ini hendaklah kita belajar mematikan hawa nafsu dan membersihkan segala hal yang bersifat mengotori hati. Tujuannya semata-mata hanya untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH. 

Mengapa kita mesti belajar mati? Belajar mati sangatlah penting. Agar nanti ketika kita mati tidak salah arah dan salah langkah. Lho...bukankah orang mati itu ibarat tidur menunggu pengadilan dari Hyang Maha Agung? Oh...tidak. Orang mati itu justru memulai kembali perjalanan menuju ke Hyang Maha Kuasa. Orang Jawa mengatakan dalam kata-kata bijaksananya,"Urip iku ibarat wong mampir ngombe (Hidup itu seperti orang yang mampir minum)". Kalau diibaratkan secara detil, orang hidup di dunia ini sebenarnya mirip seorang musafir yang berjalan, lalu kelelahan, istirahat dan minum di bawah pohon. Ketika rasa letih dan lelah itu sudah sirna, si musafir itupun harus kembali melanjutkan perjalanannya. Kemana? Tentu saja ke tempat tujuannya. 

GUSTI ALLAH itu dekat, jika sang musafir senantiasa mengingat-ingat tentang GUSTI ALLAH. Tetapi sebaliknya, GUSTI ALLAH itu jauh ketika sang musafir tersebut lebih banyak berpikir tentang hal-hal lain yang bersifat duniawi selain GUSTI ALLAH.

Pertanyaannya, Bagaimana untuk bisa bertemu dengan ALLAH? Ibarat kita hendak bertemu sang kekasih hati, gambaran wajah sang kekasih hati sudah terlukis dalam benak kita meski lama tak bertemu dan di lokasi yang jauh. "Jauh di mata, dekat di hati". Oleh karena itu, pertama, GUSTI ALLAH harus selalu terlukis dalam benak kita. Artinya, kita harus senantiasa eling. 

Kedua, GUSTI ALLAH itu bersifat Ghaib. "Mustahil bagi kita yang nyata ini bertemu dengan yang Ghaib," begitu kata orang rasional. Tapi pendapat itu tidak berlaku bagi para pendaki spiritual. Seseorang bisa bertemu dengan Sang GHAIB dengan menggunakan satu piranti khusus. Apakah itu? Piranti itu adalah mata batin. Sebab GUSTI ALLAH tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.

Dari kedua cara tersebut, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kedua cara tersebut lebih mengandalkan pada piranti yang lebih halus lagi untuk bisa bertemu dengan GUSTI ALLAH yaitu dengan RASA. Jika RASA itu sudah terbiasa diasah, maka akan menjadi tajam seperti mata pedang. Cobalah untuk berlatih mengasah RASA dengan cara belajar mati.
"Tangeh lamun sira bisa ketemu GUSTI ALLAH, yen sira ora bisa mangerteni hakekate shalat," begitu pesan dari sesepuh kita dulu. Shalat itu menurut Islam Kejawen adalah senantiasa eling dan menyembah pada GUSTI ALLAH. Seperti sudah dijelaskan pada tulisan terdahulu bahwa ada 2 hakekat hidup di dunia yaitu 
- Tansah eling lan manembah marang GUSTI ALLAH (shalat)
- Apik marang sak pada-padaning ngaurip (berbuat baik pada sesama makhluk)
Salah satu cara eling lan manembah marang GUSTI ALLAH itu jika dilakukan menurut syariat adalah dengan jalan melakukan shalat. 

Banyak dari kita yang tidak tahu, dimanakah nyawa dalam sebuah shalat yang kita lakukan. Rata-rata orang yang beragama Islam hanya menjalankan shalat sebagai syarat saja. Artinya, sekedar gugur kewajiban. Padahal, jika mengetahui nyawa shalat itu sendiri, kita akan bisa berdialog dengan GUSTI ALLAH. Dimanakah nyawa syariat shalat yang dilakukan itu?

Jawabannya: nyawa shalat itu ada pada surat Al-Fatihah. Lho kok bisa? Ya sangat jelas sekali. Karena sebuah shalat yang kita lakukan tidak akan sah jika tidak membaca surat Al-Fatihah. Jadi, jika seseorang hanya mampu membaca surat Al-Fatihah saja, maka shalatnya sudah sah, tapi masih belum bisa berdialog dengan GUSTI ALLAH. Jadi, ketika shalat dan membaca surat Al-Fatihah, konsentrasi kita haruslah penuh untuk bisa berdialog dengan GUSTI ALLAH. Lain halnya dengan shalat dimana seseorang membaca surat Al-Fatihah dengan cepat, tentu saja tidak akan mampu untuk berdialog dengan GUSTI ALLAH. 

Apa sih ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah itu? Tentu banyak dari kita yang sudah mengetahuinya. Surat Al-Fatihah tersebut antara lain berbunyi 

Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin
Ar Rahmaani rrahiim
Maaliki yaumid diin
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
Ihdinas shiraatal mustaqiim
Siraathal ladzii na’an ‘amta ‘alaihim, 
ghairil maghduu bi’alaihim, walad dhaalliin

Terjemahannya
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang
Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Yang menguasai hari pembalasan/kiamat
Hanya padamu kami menyembah, dan hanya padamu kami memohon pertolongan
Tunjukkanlah kami Jalan yang Lurus
Jalan yang penuh nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan yang sesat.

Perhatikan dengan seksama, betapa hebat dan berbobotnya surat Al-Fatihah itu. Surat Al-Fatihah tersebut jika dibaca dengan konsentrasi pada GUSTI ALLAH akan sangat bermanfaat bagi yang membacanya, terserah apapun tujuannya. Tidak salah jika surat Al-Fatihah tersebut menjadi Ummul Kitab (surat pembuka Al'Quran).

Nyawa Surat Al-Fatihah

Seperti sudah disebutkan diatas bahwa tidak banyak orang yang tahu bahwa Al-Fatihah sebagai nyawa sebuah shalat, demikian juga tidak banyak orang yang tahu bahwa surat Al-Fatihah itu sendiri juga mempunyai nyawa di dalamnya. Jadi, bisa dikatakan nyawa sebuah shalat adalah Al-Fatihah, dan surat Al-Fatihah itu sendiri juga mempunyai nyawa ataupun "ruh". 

Apa nyawa dari surat Al-Fatihah? Nyawa ataupun "ruh" dari surat Al-Fatihah itu adalah pada ayat yang berbunyi "Iyyaaka na’budu, wa iyyaaka nasta’iin". Mengapa ayat tersebut menjadi nyawa dari surat Al-Fatihah? Karena ayat tersebut merupakan perpisahan antara doa yang dipanjatkan pada GUSTI ALLAH dan doa untuk diri manusia itu sendiri yang menunjukkan kepasrahan kita sebagai makhluk. 

Coba perhatikan surat Al-Fatihah beserta terjemahannya sekali lagi. 

Bismillahirrahmaanirrahiim 
(Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih & Penyayang) (Doa untuk ALLAH) 
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin 
(Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta) (Doa untuk ALLAH) 
Ar Rahmaani rrahiim
(Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang) (Doa Untuk ALLah) 
Maaliki yaumid diin
(Yang Menguasai hari pembalasan/kiamat) (Doa untuk ALLAH)
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
(Hanya padaMU Kami Menyembah,dan hanya padaMU kami memohon pertolongan)(Doa Kepasrahan kita) 
Ihdinas shiraatal mustaqiim
(Tunjukkanlah kami jalan yang lurus)(Doa untuk si manusia)
Siraathal ladzii na’an ‘amta ‘alaihim, 
(Jalan yang penuh nikmat)(Doa untuk si manusia)
ghairil maghduu bi’alaihim, walad dhaalliin
(Bukan jalan orang yang Engkau Murkai dan bukan jalan yang sesat)(Doa untuk si manusia)

Nah, perhatikan doa tersebut. Dimanakah perpisahan antara doa untuk Allah dan doa untuk kepentingan si manusia itu sendiri? Perpisahan tersebut adalah pada "Iyyaaka na’budu, wa iyyaaka nasta’iin" yang menunjukkan bahwa manusia itu tidak mempunyai kekuatan apapun dan pasrah pada kuasa dari GUSTI ALLAH. Jadi, berkonsentrasilah ketika membaca perpisahan antara doa untuk ALLAH dan doa untuk kepentingan si manusia karena hal itu menunjukkan kepasrahan kita pada GUSTI KANG MURBEHING DUMADI.

alam semesta guru terbaik kita

GUSTI ALLAH menjelaskan lewat kitab suci Al Qur’an yang intinya: “Berjalan-jalanlah kamu dimuka bumi. Maka kamu akan melihat kekuasaanKU”. Artinya, kita harus cerdas dan cermat dalam mengamati keberadaan alam semesta itu. Dengan begitu, kita akan bisa merasa dekat dengan GUSTI ALLAH. 

Sebenarnya, sangat mudah untuk menikmati keindahan alam. Orang bisa meluangkan waktu dengan bertamasya, wisata ke pegunungan, pantai dan lain-lain. Dalam hal menikmati alam, pandangan antara anak kecil dan orangtua (sudah berumur) akan berbeda. Coba sesekali perhatikan anak kecil yang tengah berjalan-jalan dan tiba-tiba mereka melihat sungai yang airnya mengalir deras. Pasti, tanpa pikir panjang ia akan kepingin untuk mandi di kali itu. 

Tapi berbeda dengan orangtua dalam menikmati alam. Para orangtua itu cenderung tidak melihat keindahan dari sungai itu. Yang indah bagi orangtua ataupun orang yang sudah dewasa adalah duit. Kemanapun mata memandang, yang dipikirkan hanyalah duit dan dunia. Padahal yang dilihat indah itu adalah fana dan bakal berubah. Itulah perbedaan antara anak kecil dan orang tua/dewasa dalam memandang keindahan alam. 

Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari alam. Kita bisa belajar tentang ilmu kesabaran, ilmu kesetiaan, ilmu kepasrahan, ilmu diam dan banyak ilmu lainnya. Lho kok bisa? Jelas sekali. Lihatlah buktinya. 

Belajar Kesabaran 
Kalau hendak belajar ilmu kesabaran, maka kita hendaknya belajar pada Bumi yang kita injak setiap harinya ini. Bayangkan, bumi ini tidak pernah mengeluh meskipun diinjak-injak ratusan juta manusia. Bumi juga tidak pernah tersinggung meskipun diludahi, dikencingi bahkan menjadi tempat buangan kotoran manusia. Ia akan dengan sabar menerima semuanya. Kesabaran apalagi yang bisa mengalahkan bumi ciptaan GUSTI ALLAH itu? Tapi kalau manusia berbuat semena-mena terhadap bumi, maka Sang PENCIPTA akan marah dan bumi bakal menggulung dan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Contohnya, tanah longsor dan lainnya. 

Belajar Kesetiaan
Jika hendak belajar ilmu kesetiaan, tidak ada salahnya kita belajar pada matahari. Belajar dalam hal ini bukan berarti menyembah matahari. Tidak! Tetapi kita cukup melihat, merasakan dan mencontoh kesetiaan matahari yang juga ciptaan GUSTI ALLAH. Matahari adalah tempat belajar ilmu kesetiaan karena ia dengan setia senantiasa hadir dari Timur dan terbenam di Barat setiap hari. 
Matahari tidak pernah ingkar janji untuk tidak terbit. Ada orang yang guyon dengan mengatakan, lha kalau mendung bagaimana? Meski mendung, matahari tetap bersinar meski tertutup mendung. Bukankah ia terus setia? 

Belajar Kepasrahan dan Nerimo (Ikhlas)

Jika Anda ingin belajar ilmu kepasrahan dan nerimo (ikhlas), maka tidak ada salahnya belajar pada laut. Laut yang diciptakan GUSTI ALLAH adalah tempat mengalirnya beribu-ribu sungai di dunia ini. Kotoran apapun yang dilemparkan manusia lewat sungai, pasti akan mengalir ke laut. Dan laut akan pasrah menerima barang-barang buangan itu. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Laut juga akan ikhlas menerima semua air, kotoran atau benda-benda apapun yang mengalir lewat sungai. Keikhlasan yang ditunjukkan oleh laut adalah keikhlasan “Lillahi Ta’ala” (semuanya karena ALLAH).

Belajar Ilmu dari Tumbuhan
Kita juga harus belajar dari tumbuhan. Apa alasannya? Alasannya jelas, karena tumbuhan sejak dari bibit ia hidup, ia cenderung diam. Tapi tahu-tahu lama kelamaan tumbuhan itu menjadi besar dan memberi manfaat bagi si penanamnya. Bayangkan, sebuah tumbuhan saja tahu cara menghargai dan berterimakasih pada orang yang merawatnya. Sedangkan kita manusia ini yang disebut makhluk mulia oleh GUSTI ALLAH, malah tidak bisa menghargai dan berterimakasih pada GUSTI ALLAH yang telah merawat kita. Apa layak kita disebut sebagai manusia Rahmatan Lil-alamin (manusia yang menjadi rahmat bagi alam semesta)?

SANGKAN PARANING DUMADI

Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang 
berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.

Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. 

Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan. 

Kawruhana sejatining urip
(ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya
(hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe
(ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur
(ibarat burung terbang) 
lunga saka kurungan neki
(pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang
(dimana hinggapnya besok)
awja kongsi kaleru
(jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja
(umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih
(saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya
(pulang ke asal mulanya)

Kemanakah kita bakal 'pulang'? 
Kemanakah setelah kita 'mampir ngombe' di dunia ini? 
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari 'kurungan' (badan jasmani) dunia ini? 
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini? 
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati. 

Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang 
langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti ini: 

"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip, 
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang 
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya." ("Terbalik pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan alam dunia")

Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah: 
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?

Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya: 
"Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan." (Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan")

Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng. 

Wejangan beberapa leluhur mengatakan: 
"Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang 
sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana? 

Ajaran para leluhur juga menjelaskan: 
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati, 
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna, 
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).

PEPALI KI AGENG SELO

 
1. pepali-ku ajinen mbrekati
tur selamet sarta kuwarasan
pepali iku mangkene :
- awja agawe angkuh
- awja ladak lan ajwa jail
- awja ati serakah
- awja celimut
- awja mburu aleman
- awja ladak, wong ladak pan gelis mati
- lan ajwa laku ngiwa

ARTINYA : ajaran hargai agar memberkahi
lagipun selamat, sehat
pepali itu demikian :
- jangan berbuat angkuh
- jangan bengis dan jangan jahil
- jangan tamak hatimu
- jangan pun panjang tangan
- jangan memburu pujian
- jangan angkuh, yang angkuh lekat koit
- jangan hendak bersikap negatif/buruk

Dua Hakekat Hidup

Manusia hidup di dunia ini sebenarnya memiliki dua hakekat. Dua hakekat hidup tersebut sebenarnya juga merupakan janji seorang manusia kepada sang Khalik sebelum manusia dilahirkan ke dunia ini. Dua hakekat hidup itu sendiri juga merupakan perintah Tuhan yang harus dijalankan selama hidup di dunia. Apakah dua hakekat hidup itu?

Masyarakat Jawa mengenal dua hakekat hidup tersebut yaitu tansah eling manembah marang Gusti Allah lan apik marang sak padan-padaning urip. Hakekat hidup yang dikenal oleh masyarakat Jawa tersebut juga dikenal dalam ajaran Islam dengan istilah Hablum Minnallah (selalu menyembah Allah) dan Hablum Minna Nass (berbuat baik pada sesama umat).

Dua hakekat kehidupan tersebut harus senantiasa kita ingat. Pasalnya, jika kita tidak ingat terhadap dua hakekat hidup tersebut, maka kita akan terkena bencana karena ulah kita sendiri. Misalkan, kita tidak berbuat baik terhadap sesama manusia, maka secara langsung maupun tidak langsung, kita tidak akan disenangi manusia lainnya yang ada di sekitar kita. Itu masih masalah hubungan dengan manusia. Nah, kalau hubungan dengan TUhan malah harus lebih baik lagi. Kalau dimusuhi manusia, kita masih bisa berlagak sombong dengan mengatakan tak butuh bantuan dari si fulan yang memusuhi kita, tetapi kalau dimusuhi oleh Gusti Allah, kepada siapa kita berlindung dan meminta pengayoman hidup?

Dua hakekat kehidupan itulah yang harus kita pegang dalam hidup ini. Kalau Anda tidak percaya, silakan Anda mengingkari dua hakekat kehidupan itu dan lihatlah apa yang akan terjadi pada Anda. Oleh karena itu, hayatilah dua hakekat hidup itu sebelum melangkah pada penyembahan Gusti Allah yang maha sempurna. Itu sebagai bukti bahwa kita telah menjalankan apa yang diperintahkan Gusti Allah kang Maha Adil untuk merengkuh CintaNYA.
Keberadaan kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Semenjak pertama kali kita diturunkan ke alam dunia lewat rahim ibu, Tuhan sudah menitahkan adanya penjaga-penjaga yang senantiasa mendampingi kita hidup di alam dunia. Dan sesuai dengan perintah Tuhan, para penjaga-penjaga itu dengan setia senantiasa berada di sekeliling kita.



Bagi orang Jawa, khususnya orang yang memahami tentang Kejawen, adanya para penjaga tersebut dikenal dengan sebutan “Sedulur Papat”. Siapa saja Sedulur Papat itu? Sedulur papat yang dikenal masyarakat yang memahami Kejawen adalah:
1. Kakang Kawah (Air Ketuban)
2. Adhi Ari-Ari (Ari-ari)
3. Getih (Darah)
4. Puser (Pusar)

Kakang Kawah
Yang disebut dengan Kakang Kawah adalah air ketuban yang menghantarkan kita lahir ke alam dunia ini dari rahim ibu. Seperti kita ketahui, sebelum bayi lahir, air ketuban akan keluar terlebih dahulu guna membuka jalan untuk lahirnya si jabang bayi ke dunia ini. Lantaran air ketuban (kawah) keluar terlebih dulu, maka masyarakat Kejawen menyebutnya Kakak/Kakang (saudara lebih tua) yang hingga kini dikenal dengan istilah Kakang Kawah.

Adhi Ari-Ari
Sedangkan yang disebut dengan adhi ari-ari adalah ari-ari jabang bayi itu sendiri. Urutan kelahiran jabang bayi adalah, air ketuban terlebih dulu, setelah itu jabang bayi yang keluar dan dilanjutkan dengan ari-ari. Karena ari-ari tersebut muncul setelah jabang bayi lahir, maka masyarakat Kejawen biasanya mengenal dengan sebutan Adhi/adik Ari-ari.

Getih
Getih memiliki arti darah. Dalam rahim ibu selain si jabang bayi dilindungi oleh air ketuban, ia juga dilindungi oleh darah. Dan darah tersebut juga mengalir dalam sekujur tubuh si jabang bayi yang akhirnya besar dan berwujud seperti kita ini.

Puser
Istilah Puser adalah sebutan untuk tali pusar yang menghubungkan antara seorang ibu dengan anak yang ada dalam rahimnya. Dengan adanya tali pusar tersebut, apa yang dimakan oleh sang ibu, maka anaknya pun juga ikut menikmati makanan tersebut dan disimpan di Ari-Ari. Disamping itu, pusar juga digunakan oleh si jabang bayi untuk bernapas. Oleh karena itu, hubungan antara ibu dengan anaknya pasti lebih erat lantaran terjadinya kerjasama yang rapi untuk meneruskan keturunan. Semuanya itu atas kehendak dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa.

Ketika seorang jabang bayi lahir ke dunia dari rahim ibu, maka semua unsur-unsur itu keluar dari tubuh si ibu. Unsur-unsur itulah yang oleh Gusti Allah ditakdirkan untuk menjaga setiap manusia yang ada di muka bumi ini. Maka bila masyarakat Kejawen hingga kini mengenal adanya doa yang menyebut saudara yang tak tampak mata itu secara lengkap yaitu
“KAKANG KAWAH, ADHI ARI-ARI, GETIH, PUSER, KALIMO PANCER”.


Pancer
Lalu siapakah yang disebut dengan istilah Pancer? Yang disebut dengan istilah Pancer itu adalah si jabang bayi itu sendiri. Artinya, sebagai jabang bayi yang berwujud manusia, maka dialah pancer dari semua ‘saudara-saudara’nya yang tak tampak itu.

Kesamaan Dengan Islam
Antara ajaran Kejawen dengan Islam ada kesamaannya. Dalam Islam disebutkan bahwa setiap manusia dijaga oleh malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Tuhan. Siapa saja malaikat-malaikat itu? Malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Gusti Allah untuk setiap manusia itu antara lain, Jibril, Mikail, Izroil dan Isrofil.

Nah, kesamaan antara ajaran Kejawen dan Islam tersebut yakni Kakang Kawah yang disebutkan sebagai pembuka jalan si jabang bayi, itu di Islam dianggap sama dengan Jibril (Penyampai Wahyu). Malaikat Jibril lah yang membuka jalan bagi keselamatan sang bayi hingga lahir ke dunia.

Sedangkan Adhi Ari-ari yang disebut-sebut di dalam ajaran Kejawen, di dalam Islam dianggap sama dengan Mikail (Pembagi Rezeki). Karena lewat Ari-Ari itulah si jabang bayi dapat hidup dengan sari-sari makanan yang didapatkan dari seorang ibu.

Sementara Getih (darah) , bagi orang Kejawen, pada pemahaman orang Islam dianggap sama dengan keberadaan malaikat Izroil (pencabut nyawa). Buktinya, jika tidak ada darahnya, apakah manusia bisa hidup?

Yang terakhir adalah Puser. Dalam pemahaman masyarakat Kejawen, Puser adalah sambungan tali udara (napas) antara sang ibu dengan anaknya. Nah, pada pemahaman Islam, Puser ini dianggap sama dengan Isrofil (Peniup Sangkakala). Meniup sangkakala menjelang kiamat Qubro (kiamat Besar) adalah dengan napas.

Oleh karena itu, kita wajib mengenali siapa penjaga-penjaga tak nampak yang sudah diperintahkan Gusti Allah untuk senantiasa mendampingi kita. Dengan kita mengenali keberadaan mereka, akhirnya mereka nantinya bisa mawujud (berwujud). Dan yang perlu diingat lagi, jika kita sudah melihat wujud mereka, maka hendaknya kita senantiasa memuji atas kebesaran Gusti Allah yang Maha Agung. Karena atas titah Gusti Allah-lah kita semua bisa hidup berdampingan dengan penjaga-penjaga yang disebut dengan Sedulur Papat, Kalimo Pancer

Memahami Kontroversi Ajaran Siti Jenar

 Ajaran Syekh Siti Jenar memang hingga kini menimbulkan kontroversi. Apalagi ketika sang Syekh berbicara tentang hidup dan mati. Menurut Siti Jenar, kehidupan manusia di dunia ini disebut berada di alam kematian. Sementara, jika manusia itu mati, justru disebut-sebut telah memasuki awal kehidupan yang hakiki dan abadi. 
Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam diri manusia, yaitu di dalam budi. Pendapat tersebut disyiarkan oleh Siti Jenar secara terbuka dan gamblang. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan Syekh Siti Jenar. 
Dalam tataran ilmu, pemahaman yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar itu sudah memasuki tahap hakekat atau bahkan makrifat. Tidak mengherankan jika, pemahaman tentang ketuhanan yang dimilikinya akhirnya dicap dengan kata sesat. 
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar menganggap bahwa agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah pada zat yang maha kuasa dengan caranya sendiri-sendiri. Bahkan masing-masing agama itu menyebut asma GUSTI ALLAH dengan nama yang berbeda-beda, demikian pula dengan ajaran dan tatacaranya. 
Bahkan Syekh Siti juga mengajarkan bahwa dalam manembah pada GUSTI ALLAH, seseorang hendaknya melakukannya dengan ikhlas. Artinya, ketika seseorang melakukan sembahyang ataupun sholat dengan mengharapkan surga, pahala atau kemudahan untuk rezeki, maka belum bisa disebut sebagai ikhlas.

5 Anugerah GUSTI ALLAH Pada Manusia

Dalam tubuh manusia itu terdapat piranti atau unsur lengkap yang dianugerahkan oleh GUSTI ALLAH. Setiap unsur tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri. Semuanya tergantung pada manusia untuk memanfaatkan pemberian GUSTI ALLAH tersebut.

Piranti atau unsur yang dibekali GUSTI ALLAH pada manusia itu bersifat mulai 'kasar' sampai 'halus'. Apa saja piranti-piranti itu? Piranti tersebut ada lima hal yaitu:
1. Raga
2. Budi
3. Hati Nurani
4. Rasa
5. Sukma


Dari kelima hal tersebut semuanya diwajibkan untuk tansah manembah GUSTI ALLAH. Namun ketika dipanggil oleh Hyang Maha Suci, yang akan berangkat menemui GUSTI ALLAH hanyalah sukma. Raga tidak akan berangkat karena bersifat jisim atau bangkai. 

Pernahkah Anda melihat pesawat ulang-alik luar angkasa seperti Columbia. Nah, ketika berangkat ke luar angkasa, maka selongsongan luar yang berupa pesawat jet-nya akan melepaskan diri setelah tergesek oleh atmosfir bumi dan terbakar. Sedangkan pesawat inti Columbia itu sendiri akan terus bergerak ke luar angkasa. 

Selongsong luar pesawat jet yang terbakar itulah ibarat raga manusia yang tidak akan ikut berangkat menemui Hyang Suksma. Ada bait tembang yang berbunyi: 

Kawruhana... (Ketahuilah)
Dununge wong uripun niki, (Arti Orang Hidup Ini) 
Lamun mbenjang yen wus palastra (Ketika Esok Sudah Dipanggil)
Wong Mati Nyang Endi Parane? (Orang Mati, Kemana Perginya?)

Umpamakno Peksi mabur (Ibarat Burung Terbang)
Mesak saking kurunganipun (Melesat dari Sangkarnya)
Umpamakno wong lungo sonjo (Ibarat Orang yang Bepergian)
Njang sinanjang, wong lungo sonjo wajibe mulih (Orang Bepergian Wajib untuk Pulang)
Mulih ning ngisor kamboja. (Pulang di Bawah Pohon Kamboja)

Itulah gambaran dari raga yang akan menjadi bangkai atau jisim. Namun tidak demikian dengan empat piranti lainnya seperti Budi, Hati Nurani, Rasa dan Sukma. Budi, Hati Nurani dan Rasa akan menjadi saksi kita ketika menghadap GUSTI ALLAH. Sementara Sukma adalah pakaiannya. 

Kelima piranti tersebut, ketika kita simak akan terus berkembang menjadi macam-macam panembah yaitu: 
1. Sembah Raga
2. Sembah Budi
3. Sembah Hati 
4. Sembah Rasa
5. Sembah Sukma

Dari kelima sembah tersebut sama-sama mampu mengantarkan doa/panuwun kita pada GUSTI ALLAH. Semuanya tergantung pada keikhlasan dan kebersihan hati dan jiwa kita ketika berdoa. Namun kadar sembah yang paling tinggi adalah sembah sukma. Pertanyaannya, jika Anda pelaku spiritual, Anda sudah berada ditaraf sembah yang mana? Hanya Anda dan GUSTI ALLAH sendiri yang tahu

Mengenal Diri dari Serat Asmaralaya

Dalam budaya Jawa banyak serat yang diciptakan oleh nenek moyang kita. Salah satunya adalah Serat Asmaralaya. Jika kita mempelajari serat Asmaralaya tersebut, maka kita akan mengetahui dunung kita pribadi. 
Dalam sebuah hadist di ajaran Islam disebutkan “Barangsiapa yang mengetahui dirinya sendiri, maka ia akan tahu Tuhannya”. Nah, kalau Anda ingin mengetahui diri Anda pribadi, tidak ada salahnya belajar pada Serat Asmaralaya. Serat Asmaralaya tersebut antara lain berbunyi: 


Ana wiku medhar ananing hyang agung 
kang nglimputi dhiri 
wayangan nya dumumung neng netranira 
bunder nguwung lir sunaring surya nrawung 
aran nur muhammad 
weneh muwus jatining kang murbeng idhup 
yaiku pramana 
kang misesa ing sakalir 
dumuning neng utyaka guruloka 
iya iku tembung arab baitul makmur 


Ada Orang Bijak menjelaskan adanya Hyang Agung
Yang menyelimuti diri
Gambarannya ada pada Matamu sendiri
Bentuknya bundar memancarkan sinar surya yang menerawang
Yang dijuluki Nur Muhammad
Memberikan kesejatian dalam hidup
Yaitu pramana
Yang menguasai segalanya 
Letaknya ada di guruloka
Yaitu bahasa Arabnya baitul makmur

Tandane kang nyata 
aneng gebyaring pangeksi 
lwih waspada wruh gumlaring alam donya 
mung pramana kang bisa nuntun marang swarga 
ana rupa kadya rupanta priyangga 
kang akonus saking kamungsangta wus 
saplak nora siwah 
amung mawa caya putih 
yaiku aran mayangga seta 


Tandanya yang nyata
Ada dalam gebyar angan-angan
Lebih waspada tahu gumelarnya alam dunia
Hanya pramana yang bisa menuntun ke Surga
Ada bentuk rupa seperti rupa orang
Yang mengaku dari prasangka 
Yang tidak berbeda satu dengan lainnya
Hanya lewat cahaya putih
Yang disebut Mayangga Seta

ana cahya seta prapta geng sabda 
iya iku nur muhammad kang satuhu 
cahya maya maya 
jumeneng munggwing unggyaning 
tuntung driya anartani triloka 
baitul makmur baitul mukharam tetelu 
ing baitul muqadas 


Ada cahaya putih seperti SabdaNya
Iya itu Nur Muhammad yang sejati
Cahaya maya-maya (samar-samar)
Terletak umpama tingkatan
Dalam indera yang disebut triloka (tiga tempat)
Baitul makmur baitul mukharam ketiga 
Di baitul muqadas

sumanar prapteng pangeksi 
liyepena katon ponang cahya maya 
anarawung warna warna wor dumunung 
nuksmeng cahya kang sajati 
ingkang padhang gumilang tanpa wayangan 
langgeng nguwung angebeki buwana gung 
mulih purwanira 


Bersinar tanpa henti
Gambarannya tampak mirip cahaya maya
Berbaur warna-warna yang ada
Dengan cahaya yang sejati
Yang terang benderan tanpa halangan
Langgeng memenuhi buwana yang agung 
Terhadap dirimu

duk durung tumurun maring 
ngarcapada awarna warana raga 
cahyanipun gumilang gilang nelawung 
tanpa wewayangan 
nelahi sesining bumi 
gya tumurun dadya manungsa 


Ketika belum turun 
Ke alam dunia berbentuk raga
Cahayanya penuh gebyar 
Tanpa halangan
Memenuhi seisi bumi
Akhirnya segera turun menjadi manusia

marma temtu yen prapta antareng layu 
ana cahya prapta 
gumilang pindhah angganing 
tirta munggwing ron lumbu amaya maya 
dyan puniku ciptanen dadya sawujud 
lawan sabdanira 
kang sinedyan samadyaning 
ngen ngenta yekti waluya sampurna 
mulya wangsul mring salira numuhun
 

Tentu saja ketika sudah waktunya
Ada cahaya 
Bersinar berpindah warna
Air seperti berbentuk samar-samar
Yaitu cipta yang menjadi satu wujud 
Dengan sabda mu sendiri
Yang langsung terjadi 
Yang diangan-angankan pasti terjadi sempurna
Mulia kembali pada dirimu sendiri

sabda gaib babar 
bali angebaki bumi 
tribuwana kebak bangkit megat nyawa 


Sabda gaib kembali digelar
Kembali memenuhi bumi
Tribuwana penuh bangkit memisahkan nyawa 

Serat asmalaya adalah salah satu serat Jawa yang berbentuk suluk atau piwulang, berisikan ajaran suci berdasarkan ajaran Islam yang dipadukan dengan ajaran kejawen. Lebih dari itu, serat ini adalah hasil pemikiran dan perenungan nenek moyang kita. Serat ini penuh dengan pesan moral yang bernafaskan Islam. Ajaran yang terkandung dalam serat ini erat kaitannya dengan perbuatan dan kelakuan yang merupakan cerminan budi pekerti manusia

kenali diri kita...

Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata

Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat

Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia

Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya

mengutip sejarah Syekh Siti yang aku kagumi..

SYEKH SITI JENAR
   
Siapakah Syekh Siti Jenar? Meskipun setidaknya Intisari telah menjejaki - yang disebut sebagai - dua kuburan Syekh Siti Jenar, masing-masing di Kemlaten, Cirebon maupun Gedong Ombo, Tuban, agaknya Syekh Siti Jenar tidak bisa dipastikan keberadaan historisnya secara ilmiah dalam kategori positivistik. Keberadaan Syekh Siti Jenar adalah keberadaan sebuah makna, baik dalam bentuk suatu ajaran yang tercatat pada berbagai naskah, maupun makna keberadaan dalam penafsiran politis, sebagai tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali. Suatu konstelasi yang sebetulnya juga merupakan tipologi konstelasi politik duniawi, ketika kerajaan-kerajaan Islam di Jawa telah menjadi dominan, tetapi pusat-pusat kekuasaan pra-Islam dengan segenap aliran kepercayaannya, belum sepenuhnya terleburkan - bahkan sampai hari ini.
   
Wali yang mencemaskan
Dalam ziarah pustaka ini, gambaran Nancy K. Florida tentang Tiga Guru Jawa (Syekh Siti Jenar, Syekh Malang Sumirang, Ki Ageng Pengging) dalam disertasinya, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) akan dikutip sebagai pengantar:
“Di antara ketiga empu tersebut, Syekh Siti Jenarlah yang paling dikenal, dengan ketenarannya sebagai wali pembangkang yang paling utama di Jawa bahkan hingga saat ini. Berbagai versi kisahnya, baik lisan maupun tulisan, melimpah. Dialah tokoh yang mewakili penyebarluasan, dan yang disebarluaskannya adalah pengetahuan esoteris eksklusif yang keluar dari kalangan elite politik-spiritual ke dalam budaya khalayak ramai. Atas penyebarluasan inilah maka para wali merasa terpanggil untuk memusnahkan Syekh Siti Jenar. Mereka melihat ancaman politik yang benar-benar nyata dalam dirinya; lantaran sebagai sosok penyebarluasan dan populisme dia dengan sendirinya menentang pemusatan dan penyatuan kekuasaan.
“Dalam benak khalayak ramai, Siti Jenar dikenang sebagai patron wong cilik. Garis besar kisah hidupnya menggarisbawahi keterkaitan organisnya dengan lapis terendah masyarakat. Dalam versi kisahnya yang paling tersebar luas, Siti Jenar diceritakan sebagai seekor cacing tanah yang secara ajaib berubah menjadi manusia. Pengubahan ini terjadi karena sang cacing secara kebetulan menerima pengetahuan esoteris yang mengantarnya menuju Hakikat Sejati. Sekali menjadi manusia, dia yang semula cacing ini kemudian berani untuk membuka tabir Pengetahuan Makrifat ini kepada khalayak ramai. Barangkali anggapan bahwa penyampaian pengetahuan semacam itu akan dapat mengubah martabat “cacing-cacing” yang lain adalah kecemasan elite spiritual-politik di ibu negeri Demak.
“Selain dosanya ‘menyingkap sang Rahasia’ kepada khalayak ramai, Siti Jenar juga dipersalahkan karena menyepelekan syariat, hukum suci Islam. Dan di dalam banyak penuturan kisahnya, dia dituduh sebagai orang yang mengaku dirinya Allah. Bagaimanapun juga, yang paling mencuat dan diberitakan adalah dosanya menyebarluaskan Ilmu Gaib; dan lantaran dosa inilah sang wali diadili dan dijatuhi hukuman mati. Terdapat berbagai versi tentang ‘pengadilan’ dan eksekusinya. Masing-masing versi perlu untuk dipahami dengan latar belakang ingatan kolektif masyarakat tentang kisahnya dan dalam bandingan dengan versi lainnya. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah keragaman kisah atas apa yang terjadi dengan jasad sang wali; berkisar dari ekstrem yang satu bahwa jasadnya berubah menjadi bangkai busuk seekor anjing hingga ke ekstrem yang lain (yakni pada versi Babad Jaka Tingkir) bahwa sang wali akhirnya mikraj ke surga.”
Adapun asal nama Kemlaten, kuburan Syekh Siti Jenar di Cirebon, terasalkan dari kisah dalam Babad Cerbon, bahwa ketika para wali membongkar kuburan Siti Jenar setelah dihukum mati, untuk membuktikan kebenaran ajarannya: bahwa jika ia mati di dunia ini artinya hidup abadi di dunia yang sebenarnya -ternyata memang tak menemukan jasad, melainkan sekuntum bunga melati. Seperti juga telah sering ditemukan dalam riwayat wali yang sembilan, istilah “politik dongeng” menegaskan terdapatnya kepentingan ideologis di balik segenap “sejarah” tersebut. Kesadaran tentang perlu diabaikannya keberadaan dongeng-dongeng tersebut sebagai fakta historis, juga tersurat dalam catatan sejarawan Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), seperti ketika memberi catatan atas keberadaan Dewan Walisanga:
“Sudah jelas bahwa Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-15 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).”
   
Ajaran tentang ada
Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga? Dalam kenyataannya, buku-buku yang memuat dan menyebarkan teks yang disebut sebagai “ajaran” Syekh Siti Jenar ini beredar luas pada masa kini, beberapa di antaranya bahkan berpredikat best seller alias laris manis tanjung kimpul, yang bukan hanya tidak mengundang kecaman apa pun dari para pemeluk teguh syariat, melainkan justru ditulis oleh para ahli agama itu sendiri. Untuk menyebut beberapa, bisa diperiksa dua buku laris Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa (1999) dan Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2001), Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar (2004), Sudirman Tebba, Syaikh Siti Jenar: Pengaruh Tasawuf Al-Hallaj di Jawa (2003), dan yang ditulis dengan sapaan hangat serta indah karya Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian” (2002). Namun untuk mengintip apa yang disebut “ajaran rahasia” tersebut, pustaka yang akan diziarahi masih dari karya ilmiah P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (1935).
Tidak mungkin memindahkan ulasan panjang lebar dalam disertasi Zoetmulder tersebut, tapi kita mulai saja dengan petikan atas kutipan dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, pada 1922:
Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.
Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.
Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.
Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”
 
   
Bukan Al-Hallaj, tapi India
Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.
Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.
“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar - menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.
“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”
Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) - itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”
Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”
   
Lemah Abang serba pinggiran
Dengan konteks pengaruh India dan bukan Islam da lam ajaran Syekh Siti Jenar, menjadi jelas konteks duniawi yang terpadankan dengannya, seperti teruraikan oleh Graaf dan Pigeaud mengenai kedudukan politis Pengging sebagai kerajaan “kafir” terhadap kekuasaan Demak. Dalam legenda, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging adalah murid Syekh Siti Jenar yang membangkang dan tidak bersedia tunduk maupun melawan Sultan Demak - yang membuat kedudukannya sulit diatasi meski Sunan Kudus ia izinkan untuk membunuhnya. “Tindakan Sunan Kudus yang sangat terkenal terhadap ’si bid’ah’ Kebo Kenanga itu sesuai dengan ketegasan terhadap penghujah Allah Syekh Lemah Abang (atau Pangeran Siti Jenar) sendiri. Syekh itu adalah guru ilmu kebatinan empat bersaudara: Yang Dipertuan di Pengging, di Tingkir, di Ngerang, dan di Butuh.” Bahwa Pengging sebelumnya disebut-sebut sebagai kerajaan “kafir” yang masih berdiri setelah Majapahit runtuh, jelas menunjukkan personifikasi Syekh Siti Jenar sebagai representasi perlawanan, terhadap dominasi Demak sebagai representasi hegemoni kekuasaan rohani sekaligus duniawi.
Mungkinkah bisa dipahami sekarang, mengapa banyak wilayah di Jawa bernama Lemah Abang, dan selalu terletak di pinggiran?
 
Sumber : INTISARI No. 517 TH. XLIII, AGUSTUS 2006

mari kita simak makna dan arti

1. Ha : Hananira sejatine wahananing Hyang.
Adanya pada hakekatnya adalah pendukung Hyang …. wujud atau kebenaran.
2. Na : Nadyan ora kasad mata pasti ana.
Meskipun tidak nampak oleh mata, tetapi ia pasti ada.
3. Ca : Careming Hyang yekti tan ceta wineca.
Nikmatnya Hyang yang sesungguhnya tak (dapat) diuraikan dengan jelas(mempergunakan kata-kata). Karena tak ada sesuatu yang menyerupai Hyang.
4. Ra : Rasakena rakete lan angganira.
Rasakanlah eratnya dengan badanmu.
5. Ka : Kawruhanan jiwa kongsi kurang weweka.
Ketahuan dari jiwa jika kurang diusahakan.
6. Da : Dadi sasar yen sira nora waspada.
Jika tidak waspada (kau) akan menjadi sesat.
7. Ta : Tamatna prabaning Hyang Sing Sasmita.
Perhatikanlah cahaya Hyang yang memberikan isyarat.
8. Sa : Sasmitane kang kongsi bisa karasa.
Isyarat yang sampai dapat dirasakan.
9. Wa : Waspadalah wewadi kang sira gawa.
Lihatlah dengan seksama (sifat) batin sesungguhnya yang anda bawa.
10. La : Lalekna yen sira tumekeng lalis.
Lupakanlah pada waktu anda sampai pada kematian.
11. Pa : Patisasar tan wus manggyapapa.
Kematian sesat yang tak sampai pada tujuan akan menjumpai kesengsaraan.
12. Dha : Dhasar beda lan kang wus kalis ing godha.
Pada dasarnya berbeda dengan (orang) yang telah tak terpengaruh oleh godaan.
13. Ja : Jangkane mung jenak jemjeming jiwaraga.
Rencana tindakannya, hanya tahan tenteram didalam kebesaran jiwa.
14. Ya : Yatnanana liyep luyuting pralaya.
Lihatlah dalam keadaan lupa-lupa ingat mengaburnya pralaya/kematian.
15. Nya : Nyata sonya nyenyet lebeting kadonyan.
Nyata (bahwa) sunyi senyap (segala) jejak keduniawian.
16. Ma : Madyen ngalam perantunan aja samara.
Ditengah “ngalam perantunan” janganlah ragu-ragu.
17. Ga : Gayuhaning tanaliyan jung sarwa arga.
Tak ada lain yang hendak dicapai kecuali segala “gunung” atau “jamuan”.
18. Ba : Bali murba wisesa ing njero njaba.
Kembali mengatur menguasai (segi) luar dan dalam.
19. Tha : Thukulane widadarja tebah nistha.
Tumbuhnya kekuatan hukum menembus kerendahan/kehinaan.
20. Nga : Ngarah-arah ing reh mardi-mardiningrat.

guru sejati

Di kehidupan keseharian, secara tidak sadar manusia selalu merekam/menyimpan kejadian yang dialami baik ketika masih anak-anak bahkan sampai dewasa. Pada umumnya kehidupan orang jawa, hal-hal yang terjadi selama hidup tidak tercatat secara tersurat. Bisa dikatakan sejarah orang jawa kebanyakan tidak tercatat atau tersurat pada pada suatu media, namun mereka memiliki daya ingat yang kuat akan suatu kejadian yang telah terjadi di masa lampau, bahkan sampai dengan tanggal dan waktu terjadinya.
Itulah kemudian muncul adanya paribasan/istilah “ananing papan tanpa tulisan, ananing tulisan tanpa papan”. Makna sederhana dari istilah tersebut kurang lebih adalah “adanya papan/media tanpa adanya tulisan, dan adanya tulisan/cerita tanpa tertulis di suatu media”.
Ananing papan tanpa tulisan, maksudnya adalah bahwa segala yang telah dialami manusia akan tersimpan dengan baik secara tidak tersurat di didalam memori otak manusia, baik secara tidak sengaja maupun tidak. Kejadian-kejadian lampau akan tersimpan dengan baik dalam memori yang kelak akan menjadi suatu pengalaman bagi mereka dengan meningat dan menceritakan kembali kejadian-kejadian tersebut. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa ananing papan tanpa tulisan adalah perwujudan manusia seutuhnya dengan segala ingatan dan memori yang telah tersimpan dalam otak dan benak pikiran masing-masing. Perwujudan hidup manusia seutuhnya diibaratkan sebagai suatu media yang menyimpan segala kejadian, pengalaman, dan ilmu pengetahuan.
Ananing tulisan tanpa papan, maksudnya adalah implementasi/pelaksanaan dari suatu kejadian, pengalaman ataupun ilmu pengetahuan yang pernah didapat dari berbagai sumber. Apa yang pernah dialami manusia cenderung akan mengulang, mengeluarkan (berupa cerita, legenda, sejarah), mengajarkan kembali ilmu pengetahuan, atas apa yang pernah mereka alami atau mereka dapatkan dari suatu sumber tersebut. Secara sederhana “ananing tulisan tanpa papan” adalah kemampuan daya manusia untuk mengulang dan mengingat kembali yang pernah mereka dapatkan yang di ungkapkan, dituangkan, diulang kembali secara tersirat tanpa tercetak pada suatu media (papan)
Bisa dikatakan sifat manusia adalah memiliki jiwa “guru sejatining wong urip”, yang selama ini sering dicari kebanyakan manusia untuk dijadikan maha guru.
Justru pada sifat dasar manusia itulah “guru sejatining wong urip” karena memiliki kemampuan daya ingat akan apa yang pernah mereka alami dan dapatkan di jagad bumi ini.
Dalam tradisi Jawa ada ungkapan “urip iku mung mampir ngombe” yang berarti hidup ini hanya mampir minum. Ungkapan tersebut mau mengatakan bahwa hidup ini hanya sebentar dan sementara karena tentu orang yang mampir untuk minum tentu tidak akan berlama-lama. Dari ungkapan tersebut seakan-akan manusia diajak untuk bertanya kepada dirinya sendiri: sebenarnya apakah tujuan hidupku di dunia ini? Bagaimana aku harus mengisi hidup yang sementara ini? Dan, bagaimana aku memaknai hidup ini?
Disisi lain, ungkapan atau istilah urip mung mampir ngombe bisa menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman itu bisa muncul karena seakan-akan orang Jawa berpandangan bahwa hidup ini tidaklah terlalu berarti, sehingga bisa disepelekan. Padahal, istilah atau ungkapan tersebut sebenarnya mengandung pokok pikiran Jawa yang dalam mengenai ngelmu sangkan-paran atau ilmu asal dan tujuan hidup manusia. Dan yang perlu dipahami ialah bahwa dalam ilmu tersebut sesungguhnya tidak pernah memandang sepele kehidupan di dunia ini serta segala masalah-masalahnya.
Kesalahpahaman tentang urip mung mampir ngombe bisa diluruskan dengan mencermati tembang Dandhanggula yang merupakan sumber ungkapan atau istilah tersebut berasal:
Kawruhana sejatining urip pahamilah makna sejati hidup ini
Urip ana jroning alam ndonya hidup di dalam dunia ini
Bebasane mampir ngombe ibaratnya mampir minum
Umpama manuk mabur laksana burung terbang
Lunga saka kurungan neki pergi dari sarang
Pundi pencokan mbenjang hati-hati jangan sampai kesasar
Ywa konsi kaleru andaikan orang bertandang
Umpama lunga sesanja bertamu kemanapun
Njan sinanjan ora wurung bakal mulih akhirnya juga pulang
Mulih mula-mulanya kembali ke asal muasalnya sendiri
Dalam baris ketiga yang berisi delapan suku kata tersebut tidak ada kata mung, yang berarti “hanya” atau “sekadar”. Penambahan kata mung itu terjadi mungkin karena orang terpeleset dalam membunyikan tembang, sambil berusaha menepati aturan jumlah kata yang harus ada delapan dalam baris ketiga. Akibatnya, akhiran ne pada kata bebasane dihilangkan dan dan untuk gantinya ditambahkan kata mung. Penambahan ini memang kelihatannya sepele dan tidak memiliki makna, padahal justru disana akar salah tafsir tentang hidup iki mampir ngombe. Karena penambahan itu kalimat menjadi (urip iki) bebasane mung mampir ngombe, yang kemudian bisa ditafsirkan bahwa hidup ini seakan sekadar mampir minum belaka, karena itu hidup ini juga tidak terlalu berarti. Ini jelas berlawanan dengan maksud kalimat yang asli, apalagi kalau dilihat dari maksud seluruh tembang. Kekeliruan tersebut memang tidak banyak diketahui, sehingga mungkin banyak orang Jawa memahami bahwa hidup ini benar-benar “hanya” untuk mampir minum. Jika demikian, koreksi diatas kiranya menggugah orang untuk menafsirkan kembali paham hidup orang Jawa tersebut secara baru.
Tiga unsur ngelmu sangkan paran
Ungkapan urip mampir ngombe kiranya harus dijelaskan dari ngelmu sangkan paran (ilmu asal dan tujuan hidup manusia). Ilmu sangkan paran dipahami sebagai ilmu yang hanya membicarakan dua unsur ini, yakni urip iki saka sapa (asalnya dari mana), dan urip iki pungkasane piye (tujuannya ke mana). Sesungguhnya masih ada satu unsur penting di antara kedua unsur tersebut, yakni urip iki arep ngapa (hidup ini mau apa). Yang terakhir ini adalah unsur yang mengenai hidup di dunia ini. Jadi unsur sangkan paran adalah : pertama, asal hidup manusia ; kedua, hidup di dunia ini ; dan ketiga, tujuan hidup manusia. Yang pertama, berkenaan dengan kesadaran bahwa manusia berasal dari Tuhan. Yang ketiga, berkenaan dengan kepulangan manusia ke Tuhan. Yang kedua, berkenaan dengan tugas, kewajiban dan lakon hidup manusia di dunia ini. Tanpa yang kedua, yang pertama dan ketiga tidak mempunya arti apa-apa. Maksudnya, tak mungkin Tuhan menciptakan manusia dan kemudian menarik manusia lagi kepadaNya jika Tuhan tidak mempunyai maksud apa-apa dengan manusia tersebut selama ia hidup di dunia. Jadi Tuhan menghendaki agar manusia ini benar-benar urip (hidup), tidak sekadar urip-uripan (hidup-hidupan). Makudnya, agar manusia memandang dengan serius hidupnya di dunia ini. Urip mampir ngombe adalah hal yang berkenaan dengan unsur yang kedua itu.
Mau apa manusia hidup di dunia? Ia hidup di dunia bukan untuk bisa langsung ke surga, melainkan untuk menjalankan tugasnya di dunia sesuai dengan kodratnya. Kalau ia tidak menjalankan tugasnya di dunia, bagaimana mungkin ia bisa sampai ke surga? Dan yang patut diingat bahwa semua tugas tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya menurut pakem (aturan dan kebiasaan). Jadi jangan hanya menuntut semuanya pada ‘Sang Dalang’ saja.
Bisa disimpulkan bahwa hidup manusia itu begitu penting. Disini, manusia menjadi utusan ilahi dengan menjalankan tugasnya sebagai ibadah. Sebelum berpikir tentang surga, manusia harus menjalankan apa yang umum dijalankan manusia di dunia. Kalau yang umum itu dilupakan, manusia menjadi aneh; ia seperti bukan manusia. Jadi kalau manusia hanya memikirkan surga, ia juga ‘melanggar’ apa yang umum itu, dan menjadi aneh.
Meminum kagagalan hidup
Di dunia ini manusia harus belajar untuk ngombe (minum). Ngombe di sini tidak hanya berarti ngombe toya (minum air), melainkan juga ngombe rasa, ngombe ngelmu, ngombe pangerten, dan ngombe lelakon. Dengan ngombe rasa, manusia memperdalam hati dan perasaannya. Dengan ngombe ngelmu, manusia memperdalam kebatinannya. Dengan ngombe pangerten, manusia memperkaya budinya. Dengan ngombe lelakon, manusia menyempurnakan panggilan hidupnya. Dengan ngombe semuanya itu, urip tidak sekadar menjadi urip-uripan thok (hidup-hidupan saja), tetapi urip (hidup) benar-benar.
Khusus mengenai ngombe lelakon, orang patut memberi perhatian serius. Harus diakui , manusia mau menerima hidupnya jika hidupnya lurus, benar, dan baik. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Manusialah yang sering tersesat, kesasar, dan keliru. Dan, manusia tidak mau menerima hidupnya yang demikian itu, termasuk keadaan yang ada di sekelilingnya. Ia tidak mau ngombe lelakon-nya. Artinya, ia tidak mau meminum lelakon kegagalannya. Bila demikian, manusia gagal menjadi manusia yang ganep (lengkap). Maka untuk ganepe urip (hidup yang lengkap), manusia harus berani menerima kegagalannya. Sering justru dengan minum kegagalannya itu, manusia bisa ngganepi dirinya sebagai manusia.
Jadi sebenarnya urip mampir ngombe itu mempunyai pesan: ngombe ya ngombe ning ora waton ngombe (minum ya minum, tapi jangan asal minum). Atau dengan kata lain urip itu memang mampir minum tetapi tidak asal minum. Nilai yang lain ialah sopo ngombe mesti nguyuh (siapa minum mesti kencing). Artinya, manusia juga harus berani membuang lagi apa yang telah diminumnya. Jelasnya, manusia harus berani membagikan harta-milik kepada sesama, karena pada prinsipnya semua berasal dari sesama. Kalau orang tidak mau berbagi tetapi hanya mau mencari, teru minum sampai kenyang, perutnya tidak bakal kuat menampung.
Jangan kesurga-surgaan
Dilihat sampai di sini, urip mampir ngombe itu sebenarnya adalah pegangan hidup yang menghormati dunia. Malahan, istilah urip mampir ngombe itu adalah kritik bagi pandangan yang kesurga-surgaan. Urip mampir ngombe itu mengingatkan bahwa manusia itu tidak hanya lahir dan mati, tetapi juga hidup. Sementara surga (atau neraka) belumlah jelas, hidup itu sendiri sudah sangat jelas manusia miliki. Maka sebaiknya manusia berpegangan pada apa yang jelas itu, yakni hidup di sunia ini, bukan hidup di dunia nanti.
Maka kurang tepat bila manusia hidup hanya berpikir tentang surga. Surga memang layak dan jelas menjadi sebuah cita-cita. Tetapi patut di ingat bahwa jalan ke sana adalah hidup ini sendiri. Jadi sebelum berpikir tentang surga, lebih baik mengolah manusianya terlebih dahulu. Maka, tidaklah tepat bila dalam berdoa, manusia hanya nyuwun swarga (meminta surga). Permintaan demikian kiranya keliru, karena permintaan itu terlalu ngangsa (memaksa-maksa). Dan permintaan itu kebangeten anggone njagakke (keterlaluan dalam mengharap). Yang perlu diminta sesungguhnya adalah rasa menyerah dan pasrah kepada Tuhan. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa Allah Mahatahu, karena itu Dia juga paling tahu tentang apa yang kita tidak tahu tetapi kita butuhkan. Maka, penghormatan kepada Tuhan hanya dapat ditunjukkan ketika manusia hidup dalam dunia ini, di tengah-tengah berbagai soal-permasalahan hidup.
Urip mampir ngombe memang lebih berkenaan dengan ikhwal hidup di dunia ini. Tetapi patut diingat bahwa itu hanyalah salahsatu unsur dari ngelmu sangkan paran. Unsur lain dalam sangkan paran, yaitu: manusia masih harus pulang ke rumahnya yang sejati. Artinya, hidup ini bukanlah rumah yang abadi. Manusia masih harus berjalan menuju tujuan yang sejati. Jadi kendati manusia sungguh mencintai dunia, dia harus berani meninggalkannya agar sampai ke tempat yang melebihi dunia ini.
Sulit meninggalkan hidup di dunia ini. Berpisah dari hidup berarti meninggalkan pangkat, derajat dan harta. Itu semua tentu tidak mudah bagi manusia. Terlebih yang juga cukup berat adalah medhot katresnan, yaitu berpisah dari orang-orang yang dicintai. Jika pada saatnya nanti manusia berani meninggalkan dunia ini dengan ikhlas, manusia mengalami benar kesejatian dan kepastian, bahwa sungguh urip iki mampir ngombe.
Asas dan Dasar  
Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya. Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada pihak kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke tujuan kita diciptakan.
Disini, pertama-tama yang menjadi pengertian kunci dari Asas dan dasar tersebut ialah tentang penciptaan. Penciptaan bukan berarti bahwa Tuhan menciptakan semuanya sekali jadi. Juga bukan berarti awal atau titik berangkat bagi segala sesuatu untuk menjadi. Tetapi penciptaan itu berarti bahwa Tuhan terus-menerus dan setiap saat menciptakan segala sesuatu, termasuk manusia secara khusus. Seperti baris pertama Dandhanggula yang berbunyi kawruhana sejatining urip atau pahamilah makna sejati hidup ini, kesejatian itu kiranya dapat dipahami bila manusia tahu siapa sebenarnya dirinya; hakekat dirinya dan mengetahui untuk apa dia berada di dunia ini.
Asas dan Dasar menggariskan tujuan dan tugas hidup manusia dalam kalimat ini: manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan demikian menyelamatkan jiwanya. Memuji, menghormati, dan mengabdi Tuhan, itulah tujuan dan tugas manusia. Ketiga hal itu hanya bisa terjadi dalam tindakan, tidak dalam omongan. Malah tidak hanya dalam tindakan, ketiganya juga harus terjadi dalam diri manusia itu sendiri. Manusia menjadi manusia sesuai dengan tujuan ia diciptakan, begitu dirinya sendiri menjadi pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Tuhan. Maka pujian, penghormatan dan pengabdian kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang ditempelkan di luar, tetapi merupakan inti dan hakekat terdalam dari keberadaan manusia itu sendiri. Ngombe tidak sekadar ngombe, tetapi ngombe yang memiliki tujuan karena memang kebutuhan diri dan juga karena ada sesuatu yang hendak dicapai.
Justru karena memuji, manghormati, dan mengabdi Tuhan merupakan bagian terdalam dari hakekat manusia sendiri, maka ketiganya tidak bertentangan dengan kebebasan manusia. Manusia tidak hanya dengan bebas menerima dan melakukan ketiganya, tetapi juga dengan menerima dan melakukan ketiganya manusia merealisasikan kebebasannya. Karena, pada saat manusia melakukan ketiga hal itu, manusia kembali kepada dirinya, menjadi dirinya, sesuai dengan tujuan dia diciptakan, dan dengan demikian Tuhan sendirilah yang sekarang datang kepadanya.
Dunia di mana manusia berdiam ini diciptakan oleh Tuhan, dan itu berarti dunia merupakan anugerah dari Tuhan sendiri bagi manusia. Dunia bagi manusia berarti sungguh berarti karena manusia berada di dalamnya. Tanpa manusia dunia itu tidak berarti. Maka, jika manusia dapat menggunakannya untuk membantu dirinya meraih tujuan dia diciptakan, itu bukan demi egoisme pribadinya, tetapi demi “menyembah, menghormati, dan mengabdi Penciptanya”.
Kalimat berikutnya dalam Asas dan Dasar ialah “Ciptaan lain di atas permukaan bumi diciptakan bagi manusia, untuk menolongnya dalam mengejar tujuan ia diciptakan”. Yang dimaksud sebagai barang lain ialah dunia real, dunia sehari-hari yang digeluti, dunia tempat sejarah manusia terlaksana. Dalam konteks ini, dunia sebagai sebuah realitas ciptaan harus dipandang dengan rasa hormat sebagai sebuah sarana dimana manusia berhubungan dengan Penciptanya. Maka, jelas dunia tidak bisa disepelekan begitu saja karena merupakan pengantara antara dunia dan surga.
Dunia memiliki arti bila manusia dapat mempergunakan untuk meraih tujuan ia diciptakan, yaitu demi “menyembah, menghormati, dan mengabdi Penciptanya”. Maka, sebenarnya dunia ini pun mulia dan baik karena dapat mengantarkan manusia menuju tujuan ia diciptakan. Tetapi justru disinilah titik kritisnya, dimana dunia yang merupakan sarana bagi manusia, ternyata juga bisa diselewengkan. Maka, dunia yang sebenarnya mulia pun bisa menjadi ancaman, karena bisa menjauhkan atau bahkan menyesatkan manusia dari tujuan penciptaannya. Ibarat manuk mabur (burung terbang) dari sarangnya menuju sebuah tujuan tertentu, segala sesuatu yang ia temuia di perjalanan selain bisa menuntun menuju apa yang hendak dicapai, juga bisa menggoda dan membuat lupa apa sebenarnya tujuannya. Tetapi, tetap yang paling penting ialah senantiasa memandang dunia ini sebagai sarana yang penting untuk membantu mencapai tujuan manusia diciptakan. Karena itu, manusia harus mengambil indifferens, dimana Asas dan Dasar menuliskannya: “Karena itu manusia harus mempergunakannya, sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi, dan harus melepaskan diri dari barang-barang tersebut, sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh pilihan merdeka ada pada pihak kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang lebih daripada hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita inginkan dan yang kita pilih ialah melulu apa yang lebih membawa ke tujuan kita diciptakan. “ Maka indifferens adalah soal lepas bebas. Indifferens bukanlah sikap asketis atau moral, karena sesungguhnya indifferens merupakan struktur hakiki dari manusia sebagai makhluk rohani, dimana ketika keberadaannya yang terbatas berhadapan dengan Sang Pencipta yang tak terbatas, maka membuatnya untuk menjadi tak bergantung pada yang terbatas. Disinilah, Asas dan Dasar menganjurkan agar manusia membuat dirinya lepas bebas, dan menyetel dirinya sesuai dengan kelepasbebasan itu. Itu artinya, dalam mengalami, menderita, atau mencinta, manusia harus mengiyakan keterbukaannya pada apa yang lebih besar dari pengalaman, penderitaan, dan cintanya. Atau dengan kata lain, manusia harus menginginkan agar dirinya menjadi transenden; melihat diri dalam konteks antara dia dengan penciptanya.
Sebagai sebuah proses, disinilah sulitnya, karena manusia ternyata lebih suka berhenti pada yang terbatas, memilikinya, dan bahkan menjadikannya sebagai pujaan hidupnya. Manusia tak mau melepaskan, mengorbankan, atau pergi meninggalkan apa yang telah membuatnya merasa nyaman, bahkan betapapun sepelenya hal itu. Maka, sikap lepas bebas atau indifferens tidak terjadi dengan sendirinya dalam diri manusia meskipun hal ini merupakan hakekat manusia itu sendiri. Begitu manusia hendak bertindak lepas bebas sesuai dengan pengetahuan dan kebebasannya, ia merasa berat, tidak rela, sedih, dan sakit. Maka kelepasbebasan itu sama dengan kesakitan, kesedihan, bahkan kematian dirinya sendiri. Setiap kali manusia mau lepas bebas sesuai dengan hakekat dirinya, pada saat itulah ia menemui musuhnya, yakni egoismenya sendiri. Proses melawan egoisme itulah yang menyakitkan, sulit, dan berat.
Manusia sering mengira, dengan apa yang ia miliki di dunia ini, maka ia akan menjadi bahagia. Karena itu, ia mengidentifikasikan dirinya dengan miliknya, dengan barangnya, dengan keberadaannya yang tadi. Padahal disini kelepasbebasan merupakan pengorbanan, pantang, penyangkalan diri, dan bahkan kematian diri. Tidak akan pernah ada kelepasbebasan bila manusia dan keseluruhan dirinya masih terlekat pada apa yang ada di dunia ini. Kelepasbebasan memang mudah untuk dipikirkan tetapi amat sulit untuk dipraktikan. Manusia adalah dia yang berani melepas sesuatu tetapi untuk kemudian mempertahankan sesuatu yang lain. Dalam kesadaran dan rasionalitasnya, ia bisa berkata bahwa ia sudah indifferens, sudah terlepas dari ini dan itu, padahal yang sebenarnya ialah ia menghancurkan sesuatu dan kemudian beralih ke yang lain dan memeluknya kembali. Bahkan pada apa yang kelihatannya baik secara moral dalam pandangan manusia. Memang untuk hal-hal yang besar manusia bisa lepas bebas. Tetapi yang dibutuhkan adalah kelepasbebasan yang mutlak, yang keseluruhan, dan biasanya itu malah ada pada hal-hal yang kecil dan kelihatan sepele. Dan seringkali manusia justru tidak mau berkorban untuk hal-hal yang kecil itu tadi. Dengan mudah manusia melewati yang besar tetapi tersandung dalam hal-hal kecil. Karena itu, kendati sudah lepas bebas dengan terhadap hal-hal yang besar, jangan kelepasbebasan terhadap hal-hal yang kecil disepelekan, dan dianggap tidak apa-apa. Karena dengan itu manusia justru terkurung dalam hal ikhwal yang berlawanan dengan Asas dan Dasar.
Menurut Asas dan Dasar, tujuan manusia adalah memuji, menghormati, dan mengabdi pada Tuhan. Untuk itu ia harus mencari, jalan atau cara mana di dunia ini yang akan menjadi lebih membimbing ke arah tujuan ia diciptakan (magis). Tujuan dan jalan itu memang berbeda, tetapi tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Makin manusia mendekati tujuan, makin ia harus mencari jalan yang lebih membimbingnya ke arah tujuan itu. Karena itu, Asas dan Dasar mengajak manusia untuk selalu menjatuhkan pilihan, jalan mana yang lebih baik dalam membimbing ia ke arah tujuan ia diciptakan. Manusia harus selalu mencari dan makin mencari, menemukan dan makin menemukan jalan itu, karena untuk menuju Dia tak ada jalan sekali jadi dan pasti untuk selamanya. Dia adalah tujuan hidup yang yang penuh dengan rahasia dan tak terselami yang senantiasa penuh dengan hal-hal yang baru.
Maka tampak bahwa Asas dan Dasar adalah suatu kaidah hidup kerohanian yang amat memperhatikan dunia dan pengalaman manusia di dunia. Mistik Asas dan Dasar bukanlah mistik yang menarik diri dari dunia ini, melainkan mistik yang berkenaan dengan dunia ini. Allah dala Asas dan Dasar bukanlah Allah yang sudah jelas dengan sendirinya dan sekali jadi, melainkan Allah yang senantiasa dicari terus-menerus dalam pengalaman manusia dan kejadian di dunia ini. Allah yang mesti dicari dalam setiap pengalaman manusia, juga dalam pengalaman yang kelihatannya menolak Dia: dalam kekecewaan, keputusasaan, kemiskinan, dan juga penderitaan. Bahkan, Allah pun juga mesti dicari di tempat dimana kelihatannya Dia tidak ada, karena tidak mustahil Allah bisa juga ditemukan justru dalam hal-hal yang kelihatannya tak mengandung Dia.
Akhir kata, bisa dikatakan bahwa keliru bila hidup di dunia ini hanya sekadar mampir ngombe. Sebab sesungguhnya dunia ini adalah sakramen dari Allah sendiri. Dunia ini bukan hanya sekadar tanda bagi kehadiranNya, tetapi juga tempat dan kemungkinan satu-satunya di mana manusia sebagai ciptaan dapat menemukan diriNya. Dalam hidupnya, manusia tak boleh mengikatkan diri pada dunia ini, entah dalam kegembiraan entah dalam kekecewaannya. Karena dengan lepas dari keterikatannya di dunia ini, Allah pun dengan leluasa akan menciptakannya secara baru. Maka tak ada suatu pun yang tetap di dunia ini karena manusia juga turut diajak untuk turut serta dalam karya Tuhan yang senantiasa menciptakan. Dan disinilah Asas dan Dasar mengundang manusia untuk berani selalu memutuskan dalam setiap momen hidupnya.

Senin, 22 Juni 2009

ESENSI DIRI KITA,SEPERTI INIKAH?

1.adalah sebuah keanehan jika kamu bersukaria menikmati kejatuhan didalam keberhasilan.
2.coba renungkan,bahwa didalam kitaran para pengikut dan berbagai pujian,engkau ternyata belum memasuki pintu gerbang kerohanian.
3.lihatlah,amatilah,camkan,bahwa orang berpesta pora sambil saling singguk untuk mengumpulkan pecahan-pecahan kaca.
4.engkau menyukai pujian untuk dirimu?obatnya,turunlah dari kursimu dan duduklah di atas tanah.
5.hindari membeli neraka yang begitu murah.
6.jangan memastikan pintu surga telah terbuka untukmu hanya karena orang-orang lain mengatakan engkau shaleh.

mari kita renungkan esensi diri kita yang sebenarnya,seperti apa,dan bagaimana. ketidaktahuan kita dan keterbatasan kita,mari jadikan semua itu sebuah cermin yang kan memberi kita pencerahan dalam membuka diri. esensi kita...
ah...kenapa hidup musti banyak memilih...

Jumat, 19 Juni 2009

lama aku tidak posting,lalu ada seorang teman yang memberitahu aku akan sebuah surat di dalam Al Qur'an. aku buka,dan ternyata isinya sangat membuat aku merenung dalam kepasrahan dan rasa bersalah...

mengutip surat Al Baqarah

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang2 yang khusyu’, (yaitu) orang2 yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan mereka akan kembali kepada-Nya. (QS Al Baqarah 45-46)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah2an. Dan berikanlah berita gembira kepada orang2 yang sabar, (yaitu) orang2 yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang2 yang mendapat petunjuk. (QS Al Baqarah 155-157)

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS Al Baqarah 163)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS Al Baqarah 186)

Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba2-Nya. Hai orang2 yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah2 syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al Baqarah 207-208)

…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah 216)

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku,dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku. (QS Al Baqarah 152)